PERUSAHAAN Umum Jasa Tirta (PJT) 1, Kota Malang, Jawa Timur, terus mengobservasi bangunan Bendungan Sutami yang kondisinya retak.
Sekretaris PJT 1 Malang Ulie Mospar Dewanto mengatakan observasi dilakukan sampai tuntas sehingga membutuhkan waktu lama. Pasalnya, petugas melakukan pengecekan menyeluruh untuk menjawab kekhawatiran bahwa keretakan itu terjadi pada bangunan inti bendungan.
Sejauh ini sejumlah petugas PJT terus bekerja sejak Juni 2014 setelah adanya laporan keretakan aspal jalan bendungan yang menghubungkan Kecamatan Kalipare dan Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang, tersebut.
Mereka melakukan observasi dengan cara menggali di sejumlah titik guna mengetahui pusat keretakan. “Petugas dari PJT masih mengobservasi dan jalan di bendungan juga masih tetap ditutup total,” tegasnya.
Kesimpulan awal, lanjutnya, keretakan disebabkan oleh air yang merembes di struktur tanah di atas bangunan inti karena sistem drainase kurang sempurna. “Aspal pun menjadi retak,” ujarnya.
Namun demikian, pihaknya tidak gegabah dalam menyimpulkan. Pasalnya, keamanan bendungan yang merupakan objek vital negara ini harus diperhatikan dengan baik.
Karena itu, petugas keamanan bendungan terus berusaha sekaligus memastikan kondisinya benar-benar aman.
Ia menjelaskan keretakan terjadi pada aspal jalan sekitar 70 meter di atas bangunan inti bendungan, sedangkan bangun an inti tersebut merupakan sekat urukan tanah yang kedap air. Tujuan bangun an inti agar air di bendungan tidak merembes atau bocor. “Kalaupun bangunan inti kemasukan air, tekanan air tidak besar. Pergerakan air juga sangat pelan,” katanya.
Yang jelas, kata Ulie, bangunan inti masih kukuh. Hal itu didasarkan pada analisis keamanan bendungan terbesar di Jatim yang diresmikan pada 1972 tersebut masih aman kendati gempa bumi kerap melanda selatan Kabupaten Malang.
“Ancaman terbesar ialah tingginya sedimentasi,” tukasnya.
Sebab, sedimentasi mengakibatkan kapasitas tampungan terus menurun, sekarang hanya mencapai 157,17 juta meter kubik dari kapasitas tampungan awal 253 juta meter kubik. Di Jawa Barat, akibat kekurangan air, sejumlah petani terpaksa panen dini untuk menghindari terjadinya puso (gagal panen).
“Sebenarnya tanaman padi baru bisa dipanen setelah berusia di atas 100 hari,” kata Rasnadi, petani asal Desa/Kecamatan Juntinyuat, kemarin.
Panen dini terpaksa dilakukannya karena tidak ada lagi harapan bisa mendapatkan air. “Sungai sudah menge ring,” katanya. Untuk menyedot menggunakan pompa air pun tidak memungkinkan karena yang tersisa hanya lumpur.
Akibat panen yang dilakukan sebelum waktunya, bulir tanaman padi masih banyak yang kosong. Karena dipanen sebelum waktunya, hasil pro duksi pun tidak maksimal.Dalam kondisi normal, tanaman padi yang dipanen bisa mencapai 6 hingga 7 ton gabah per hektare. Namun, karena belum waktunya, gabah yang bisa diperoleh hanya 2 hingga 3 ton per hektare.
Bahkan dari segi kualitas pun tidak bagus. Jika nantinya digiling, beras akan pecah sehingga harga jualnya rendah.
Di Sulawesi Barat, lebih dari 80 hektare tambak di Kelurahan Baurung, Kecamatan Banggae Timur, Kabupaten Majene, mengalami kekeringan akibat kemarau. Para petani tambak mengaku rugi karena banyak yang mati. (UL/FH/N-1) bagusuryo @mediaindonesia.com
Baca juga : Bendungan Sutami Retak Karena Faktor Cuaca dan Usia
Baca juga : Bendungan Sutami Retak Karena Faktor Cuaca dan Usia